Aku Mencium Tangan Mayatmu, Karena Hanya Itu Caraku Berpamitan
Kabut menggantung, seperti tirai sutra kelabu yang enggan tersibak. Istana Yulong, dulu gemerlap dengan tawa dan intrik, kini sunyi senyap. Lorong-lorongnya yang panjang terasa dingin menusuk tulang, menyimpan gema langkah kaki yang dulu lincah, kini berderap pelan, hati-hati.
Li Wei, atau setidaknya, sosok yang menyerupai Li Wei, berdiri di depan peti mati berukir naga emas. Sepuluh tahun lalu, ia dinyatakan tewas dalam pemberontakan di perbatasan utara. Sekarang, ia kembali.
Di dalam peti itu terbaring jasad Jenderal Zhao, tangan kanannya, sahabatnya, dan yang terpenting, pengkhianatnya.
"Wei… apakah itu benar kau?" Suara parau menyapa dari kegelapan. Selir Lan, wanita yang dulu diperebutkan Li Wei dan Zhao, muncul dengan wajah pucat pasi. Matanya yang dulu memancarkan keceriaan kini tinggal sisa kesedihan yang mendalam.
Li Wei tidak menjawab. Ia berlutut di samping peti. Tangannya yang kasar, dihiasi bekas luka, menggapai tangan Zhao yang dingin kaku.
"Kau tahu, Lan," ucapnya akhirnya, suaranya bagai bisikan angin di antara bebatuan. "Dulu, aku percaya pada loyalitas. Aku percaya pada persahabatan. Aku percaya pada cinta."
"Lalu?" Lan menahan napas.
Li Wei menarik napas dalam. Aroma cendana dan kematian bercampur menjadi bau yang menyesakkan. "Lalu, aku belajar bahwa di dunia ini, kekuatan adalah segalanya. Loyalitas bisa dibeli. Persahabatan bisa dikhianati. Dan cinta… cinta hanyalah alat."
Ia mencium tangan Zhao. Sebuah ciuman yang panjang, dingin, dan penuh perhitungan.
"Kau pikir aku mati, Lan? Kau pikir Zhao berkhianat karena ia mencintaimu? Kalian berdua salah." Li Wei bangkit, berbalik menghadap Lan. Cahaya obor menari-nari di wajahnya, mempertegas garis keras dan senyum tipis yang mengerikan.
"Zhao hanyalah bidak. Pemberontakan di perbatasan hanyalah permulaan. Aku membiarkan diriku 'mati' untuk melihat siapa yang benar-benar setia padaku… dan siapa yang bisa kubuang."
Lan mundur ketakutan. "Kau… kau merencanakan semuanya?"
Li Wei mengangguk. "Tentu saja. Aku selalu merencanakan semuanya. Bahkan, kepergianmu sebentar lagi juga sudah kurancang."
Ia menatap Lan dengan tatapan yang membuatnya membeku. "Kau tahu, Lan, aku selalu menyukai boneka yang cantik. Tapi boneka yang bisa berpikir, itu berbahaya."
Kemudian, ia menghela napas, pandangannya tertuju kembali pada peti jenazah Zhao.
"Selamat tinggal, sahabatku. Kau telah melayaniku dengan sangat baik. Tapi, kekuasaan sejati tidak pernah bisa dibagi."
Li Wei meninggalkan lorong itu, meninggalkan Lan yang terisak di samping jasad Zhao. Kabut di luar istana semakin tebal, menelan jejak langkahnya dan menyembunyikan kebenaran mengerikan yang baru saja terungkap.
Langkah kakinya, terdengar begitu mantap dan yakin, menandakan bahwa semua yang terjadi hanyalah bagian dari rencana besar yang tersembunyi.
Dan ketika kabut mulai menyelimuti istana, terdengar lirih jawaban terakhir yang menembus sunyi:
Karena, pada akhirnya, yang mati adalah yang dikendalikan, bukan yang hilang.
You Might Also Like: 131 Kekurangan Pelembab Ringan Lokal
Post a Comment