Cerpen Seru: Aku Menulis Janji Di Udara, Tapi Angin Membawanya Ke Surga

Aku Menulis Janji di Udara, Tapi Angin Membawanya ke Surga

Kabut ungu menggantung di atas Danau Bulan Sabit, saksi bisu persahabatan kami, atau setidaknya, apa yang ku pikir persahabatan. Lin Wei dan aku, Jiang Chen, tumbuh besar di desa nelayan yang sama. Kami berbagi mimpi, rahasia, dan bahkan ciuman pertama di bawah pohon sakura yang kini kering kerontang. Kami bersumpah setia sampai akhir hayat, setia yang ternyata rapuh seperti kertas.

Lin Wei selalu lebih cantik, lebih cerdas, lebih dicintai. Dia bagaikan matahari, menghangatkan semua orang di sekitarnya. Aku, hanya bulan, memantulkan cahayanya. Tetapi, dalam bayang-bayang, aku melihat kilatan licik di matanya, seperti pisau yang diasah dalam kegelapan.

"Chen, kita akan menaklukkan dunia bersama," bisiknya suatu malam, angin memainkan rambut panjangnya. "Kita akan menjadi yang terkuat, tak terkalahkan."

Aku percaya. Betapa bodohnya aku.

Bertahun-tahun berlalu. Kami memasuki sekte yang sama, Sekte Pedang Naga Langit. Kami berlatih bersama, berjuang bersama, naik pangkat bersama. Tetapi, ambisi Lin Wei tumbuh tak terkendali. Dia menginginkan kekuasaan, kehormatan, segalanya. Aku tahu, jauh di lubuk hatiku, bahwa sesuatu akan terjadi.

Suatu malam, di tengah badai petir yang dahsyat, rahasia itu terungkap. Ayahku, seorang tabib desa, ternyata menyimpan gulungan kuno yang berisi teknik bela diri terlarang, Teknik Jiwa Naga. Lin Wei tahu. Dia tahu dan dia menginginkannya.

"Chen, berikan padaku," pintanya, matanya berkilat gila. "Kita akan berbagi kekuatannya."

Aku menolak. Teknik itu berbahaya, bisa merusak jiwa. Ayahku mempercayakannya padaku untuk melindunginya, bukan untuk menyalahgunakannya.

"Kau memilih jalan ini?" desisnya, senyumnya menghilang, digantikan oleh ekspresi dingin yang belum pernah kulihat. "Kalau begitu, kau adalah musuhku."

Kata-kata itu menghantamku seperti palu godam. Musuh? Setelah semua yang kami lalui?

Malam itu, dia membunuhku. Atau setidaknya, dia mencoba. Aku berhasil selamat, tetapi terluka parah. Aku mendengar dia berbohong, menyalahkan pemberontak atas "kematianku," dan mengklaim gulungan itu sebagai miliknya. Dia mendapatkan kehormatan, kekuasaan, semua yang dia inginkan.

Aku menghilang, bersembunyi di pegunungan, berlatih dalam kesendirian. Aku menempa diriku menjadi senjata, senjata pembalasan. Aku melatih Teknik Jiwa Naga, menanggung siksaan mengerikan untuk menguasainya.

Bertahun-tahun kemudian, aku kembali. Lin Wei, kini menjadi pemimpin Sekte Pedang Naga Langit, menyambutku dengan senyum manis, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Chen! Kau masih hidup! Betapa bahagianya aku!"

Pertunjukan murahan.

"Lin Wei," kataku, suaraku dingin seperti es. "Aku datang untuk menagih hutang."

Pertempuran kami berlangsung selama tiga hari tiga malam. Langit bergemuruh, tanah bergetar. Pada akhirnya, aku berdiri di atas tubuhnya yang berlumuran darah.

"Kenapa, Chen?" bisiknya, air mata mengalir di pipinya. "Kenapa kau melakukan ini?"

"Kau mengkhianatiku," jawabku, tanpa emosi. "Kau mengkhianati persahabatan kita, keluarga kita, segalanya. Kau memilih kekuasaan daripada kebenaran."

Saat dia menghembuskan napas terakhirnya, dia mengucapkan kata-kata yang menghantuiku sampai sekarang.

"Aku… aku melakukan… semua ini… untukmu..."

Angin bertiup kencang, membawa debu dan abu. Aku berlutut di sampingnya, tatapanku kosong. Aku membunuhnya, tapi kemenangan ini terasa hambar.

Mungkin, angin juga membawa kebenaran bersamanya, sebuah kebenaran yang terlambat untuk diselamatkan.

You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Alami Untuk

Post a Comment