Endingnya Gini! Air Mata Yang Menjadi Ukiran Takdir

Air Mata yang Menjadi Ukiran Takdir

Lorong Istana Timur bagai mulut naga yang menganga, SUNYI dan dingin. Obor-obor menari dengan malas, bayangannya memperpanjang kegelapan yang menelan setiap langkah. Di sanalah, Putri Lianhua berdiri, gaun sutra putihnya berkibar ditiup angin malam. Dua belas tahun lamanya ia menunggu, meyakini apa yang mustahil bagi orang lain.

Kabut menggantung di Pegunungan Wuyi, menyelimuti puncak-puncak terjal dalam kerudung misteri. Di tengah kabut itu, sesosok pria muncul. Wajahnya familiar, namun terukir luka dan kelelahan. Pangeran Rui? Pangeran Rui yang dikabarkan tewas dalam pemberontakan dua belas tahun lalu?

"Lianhua..." Suaranya serak, nyaris tak terdengar di tengah desiran angin. "Kau... kau masih mengingatku?"

Lianhua berbalik, matanya berkilat seperti permata hitam. "Bagaimana mungkin aku melupakanmu, gege? Kematianmu... adalah cambuk yang memecut ambisiku."

Rui terhuyung. "Ambisimu? Bukankah kau... bukankah kau mencintaiku?"

Lianhua tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Cinta adalah kemewahan, Rui. Kekuasaan adalah kebutuhan." Ia melangkah mendekat, tatapannya tajam bagai pisau. "Dua belas tahun lalu, aku merencanakan semuanya. Pemberontakan itu... SANDIWARA. Kematianmu... KUNCI."

"Kenapa?" Rui berbisik, suaranya penuh pengkhianatan. "Kenapa kau mengkhianatiku?"

"Ayah kita, Kaisar, mencintai dirimu, Rui. Kau adalah pewaris yang ia inginkan. Tetapi aku? Aku hanya dianggap sebagai perhiasan, pajangan yang manis namun tak berdaya." Lianhua mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Rui. "Aku membutuhkanmu untuk mati, agar aku bisa naik takhta. Agar aku bisa membuktikan kepada dunia, bahwa seorang wanita juga bisa menjadi Kaisar."

"Kau... iblis!" Rui meludah, darah segar menetes di salju.

Lianhua tertawa, suara yang dingin dan menusuk. "Iblis? Mungkin. Tetapi aku adalah iblis yang berkuasa. Dan kau, gege, kau adalah alasanku untuk berkuasa." Ia menjatuhkan sebuah jepit rambut perak di dekat kaki Rui. "Ambillah. Anggap saja kenang-kenangan. Aku tahu kau akan segera menyusul ayahanda."

Rui menatap jepit rambut itu, air mata mengalir di pipinya. Air mata yang bukan hanya karena pengkhianatan, tetapi juga karena pemahaman yang terlambat. Ia selalu mencintai Lianhua, selalu mengira bahwa ia akan melindunginya. Namun, ia salah. Lianhua tidak butuh perlindungannya. Ia membutuhkan kematiannya.

Lianhua berbalik, berjalan menjauh meninggalkan Rui yang terkapar di salju. Kabut kembali menelan dirinya, menyembunyikan senyum kemenangan yang terukir di bibirnya.

Angin bertiup kencang, membawa serta aroma darah dan pengkhianatan. Di Istana Timur, Kaisar Wanita Lianhua duduk di singgasananya, sebuah ukiran burung phoenix yang megah menghiasi punggungnya. Ia menyentuh kalung giok yang melingkar di lehernya, sebuah kalung yang dulunya milik ibunya. Ia ingat kata-kata ibunya, "Kekuasaan adalah permainan yang kejam, Lianhua. Dan hanya mereka yang berani bermain kotor yang akan menang."

Malam itu, di bawah rembulan pucat, Lianhua tahu bahwa takdirnya telah terukir, bukan oleh air mata, tetapi oleh keputusannya yang dingin dan kalkulatif. Pihak yang dianggap korban... SEJAK AWAL MEMEGANG KENDALI.

Dan hening... Hening yang memekakkan telinga.

You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Yang Cocok

OlderNewest

Post a Comment